Sabtu, 19 April 2008

Gerakan Tamadduni Indonesia

TERM OF REFERRENCE KONGRES HMI KE-25
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM


Generasi HMI akhir 1980-an hingga awal 1990-an meletakkan dasar-dasar epistemologis dan perspektif peradaban bagi perjuangan organisasi dengan mengusung tema besar: “Epistemologi Islam dan Peradaban”. Tema ini relatif berhasil memberikan ‘nyawa’ bagi organisasi untuk melakukan perlawanan intelektual terhadap wacana dan represi politik yang hegemonik pada waktu itu. Pada paruh 1990-an, tepatnya pada kepengurusan PB HMI Periode 1995-1997, refleksi yang bersifat epistemologis pada periode sebelumnya mendapatkan pijakan aksiologisnya, yakni dalam visi yang terekam dalam tema: “Membangun Jaringan Keumatan menuju Masyarakat Berkeadilan”. Upaya-upaya organisatoris dilakukan untuk melakukan konsolidasi keummatan yang pada gilirannya membuat penguasa pada waktu itu, mau tidak mau, mulai mau mengakomodasi dan tidak lagi terlalu fobia dengan label Islam. Contoh kongkretnya adalah terselenggaranya Kongres Nasional Umat Islam yang salah satu inisiatornya adalah HMI.

Namun demikian, watak dasar penguasa yang korup dan otoritarian tak juga berubah; maka, HMI tetap melakukan perlawanan dan menyiapkan konsepsi perubahannya. Atas dasar itu, pada kepengurusan 1997-1999 dimana pada kurun itu Soeharto jatuh (21 Mei1998), HMI mempunyai tema: “Meletakkan Dasar-Dasar Perubahan yang Humanis-Transenden Menuju Masyarakat Madani”. Pada periode berikutnya, di tengah zaman yang sedang berubah, HMI merasa perlu menyiapkan dan menceetak kader yang matang dan mempunyai kapasitas yang memadai untuk mewujudkan masyarakat madani yang berdaulat itu. Untuk itu, tema “Peran Profetis Kader HMI” menjadi visi periode 1999-2001 ini.

Disadari bahwa reformasi politik pada tahun 1998 terjadi di level permukaan saja (artifisial), tidak menyentuh hal-hal yang substansial dan paradigmatik. Karakter orde baru yang otoriter, korup, kolutif, dan nepotis masih menjadi mental yang mendarah daging di hampir seluruh elemen bangsa, terutama pada masyarakat politik (penyelenggara negara). Bertolak dari hal itu, pada periode 2001-2003 HMI mengemban satu amanah visi perubahan radikal, paradikmatik, dan sistemik di bawah bendera: Revolusi Sistemik: Suatu Ikhtiar Menegakkan Hak-Hak dan Partisipasi Kaum Mustadh’afien Menuju Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur”. Masih dalam bingkai revolusi sistemik, salah satu terjemahan konkretnya adalah keharusan perubahan karakter, paradigma, dan sistem di wilayah (meminjam istilah A. Gramsci) masyarakat politik. Konsekuensinya, pembaharuan di level politik kenegaraan menjadi sebuah keniscayaan. Inilah yang menjadi fokus dari tema kepengurusan 2003-2005 yang mengambil angle: “Perubahan Sistem Ke-Indonesiaa-an untuk Kaum Lemah dan Terpinggirkan.” Di satu sisi tema ini hendak mendesakkan agenda perubahan kepada negara agar tidak tunduk pada agenda-agenda neo-liberalisme, dan di sisi yang lain, ia juga memaksa negara untuk meninggalkan secara total wataknya yang otoritarianistik dan korup. Semua kebijakan musti diabdikan untuk kepentingan rakyat yang selama ini lemah dan dipinggirkan oleh negara.

Setelah konsolidasi di tingkat masyarakat politik relatif berhasil, tampak ternyata konsolidasi di tingkat masyarakat sipilnya mengalami kebangkrutan akibat banyaknya elemen masyarakat sipil yang larut dalam konstelasi politik. Gerakan mereka mengalami disorientasi, tercabik-cabik, sehingga agenda-agenda kebudayaan dan pemberdayaan masyarakat menjadi terbengkalai. Untuk itu, konsolidasi masyarakat sipil menjadi sebuah keharusan. Dengan sentuhan pergolakan nilai dan spirit perubahan untuk kaum mustadh`afien, konsolidasi masyarakat sipil itu terangkum dalam tema: “Gerakan Tamadduni Masyarakat Sipil Untuk Kaum Lemah dan Terpinggirkan.”


Gerakan Tamadduni: Jalan Profetik Bagi Transformasi Masyarakat.

Istilah tamaddun sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru dalam khazanah Islam maupun perbincangan intelektual di Indonesia. Ia mempunyai akar kata yang sama dengan madany, madiinah, atau madaniyyah, yakni ma-da-na, yang semua mempunyai arti “kota” atau “peradaban”. Penambahan ta’ di awal dan tasydiid pada ”dal” memberi penguatan (mubaalaghah) bahwa peradaban yang dimaksud adalah peradaban tinggi yang diperoleh melalui suatu proses panjang, penuh dengan dinamika perjuangan, dan terdapat pergulatan nilai-nilai baik kebudayaan maupun keagamaan.

Ibnu Khaldun, pemikir Islam abad pertengahan par excelent, menggunakan tiga istilah untuk merujuk konsep peradaban, yakni úmran, hadlarah, dan tamaddun. Para pemikir di dataran Melayu lebih memilih istilah yang berakar dari kata tamaddun daripada dua istilah lainnya, karena secara etimologis memang lebih mempunyai makna yang dalam dan dinamik. `Umran mempunyai konotasi “keramaian dan kemakmuran”, “hadlarah” mengandung pengertian “kosmopolit”, sedangkan “tamaddun” dalam konteks peradaban mencakup dua pengertian sebelumnya karena karakteristiknya yang mengandung jiwa perkotaan (madaniyah) dimana ditandai oleh tingginya partisipasi masyarakat, maraknya inisiatif kebudayaan dan pencapaian pemikiran, tercapainya kemandirian ekonomi dan kemajuan teknologi. Maka tak salah bila kemudian konsep tamaddun, menurut Naquib al-Attas (1977:15), akan mengarahkan masyarakat pada “ suatu kehidupan manusia yang bermasyarakat dalam ketinggian tata susila dan kebudayaan.”

Gerakan Tamadduni (civilizational movement) adalah ikhtiar dan ijitihad tingkat tinggi yang hendak mendorong seluruh kekuatan kognitif, afektif, tenaga dan pikiran, serta pergerakan sosial ke arah terciptanya masyarakat yang berperadaban sebagaimana yang dijelaskan dalam konsep tamaddun di atas. Pertama, di tingkat suprastruktur, gerakan ini mengandaikan adanya bangunan tauhid yang kokoh di batin segenap masyarakat. Refleksi atas tauhid baik oleh individu maupun masyarakat adalah imperasi gerakan yang tak bisa dihentikan oleh bergantinya tempat dan waktu. Kedua, di tingkat kultur, ia juga meniscayakan kondisi masyarakat yang mempunyai ketinggian dan kemerataan tingkat keilmuan (literate society), kompetensi dan kapasitas, serta inisiatif dan partisipasi baik di bidang ekonomi, politik, maupun kebudayaan. Ketiga, di tingkat struktur, gerakan tamadduni bertugas untuk memperbaiki sistem, struktur, dan performa kenegaraan agar memenuhi hak-hak masyarakat yang selalu dikalahkan dan dilemahkan.

Itulah satu jalan transformasi kemasyarakatan yang jejaknya dapat dilacak dalam sejarah kenabian (sirah nabawiyah). Transformasi profetik yang dilakukan oleh Rasululah dalam membangun Peradaban Madinah adalah: pembangunan tauhid di Mekkah, kedua, pembangunan kemasyarakatan dengan jalan saling mempersaudarakan antara Muhajirin-Anshar dan juga kontrak sosial dengan komunitas selain Islam (Piagam Madinah), dan yang terakhir adalah menjalankan pemerintahan berdaulat di Madinah. Dari sinilah peradaban Islam terbangun yang kemudian dapat mengatasi peradaban Persia dan Byzantium-Romawi.

Cita-cita transformasi dari gerakan tamadduni tentu saja adalah terciptanya masyarakat yang diridhai oleh Allah SWT. Namun demikian, tamadduni lebih berkonsentrasi pada proses perjuangan, kuatnya energi untuk bergerak maju, dan daya kerja yang keras dan profesional untuk mencapai cita-cita transformasi daripada hanya menunggu atau bermimpi tentang bentuk jadi dari masyarakat bertamaddun yang diridhai oleh Allah SWT itu. Untuk itu, dibutuhkan adanya suatu kekuatan progresif yang mampu mengkonsolidasikan dirinya untuk mewujudkan cita-cita luhur ini.

Situasi kekinian menunjukkan adanya fenomena tiga kekuatan yang acapkali saling berkonflik meski di saat yang lain juga bisa saling bekerjasama dalam sebuah konsensus. Pertama adalah pasar (pemodal). Kedua adalah negara (masyarakat politik). Ketiga adalah masyarakat sipil (yang non-penguasa modal dan non-penguasa kenegaraan). Kekuatan pertama dan kedua mempunyaI kecenderungan besar untuk mengalahkan dan memperalat kekuatan ketiga untuk memantapkan dan memapankan kekuasaan masing-masing. Dengan kata lain, masyarakat sipil sangat rawan untuk menjadi pihak yang lemah dan terpinggirkan, dan oleh karena itu susungguhnya, ia menyimpan kekuatan progresif untuk melakukan perubahan dan memaksa pemodal dan negara untuk memenuhi hak-haknya. Dari situlah peradaban yang tinggi akan dapat diwujudkan.

Masyarakat Sipil: Keniscayaan Konsolidasi Untuk Ber-Tamaddun

Masyarakat sipil adalah kekuatan ketiga yang peran dan posisinya sangat strategis bagi proyek tamaddun. Beberapa bentuk konsolidasi yang diharapkan dapat terwujud untuk menopang visi tamaddun itu adalah; konsolidasi untuk kemandirian ekonomi, konsolidasi untuk kemerdekaan politik, dan konsolidasi untuk pencapaian kebudayaan yang tinggi.

Pertama, kecenderungan mutakhir menunjukkan bahwa kekuatan pasar (neo-kapitalime) begitu kuat sehingga mengatasi negara dan masyarakat. Bahkan, negara dipaksa menjadi boneka yang manis untuk memenuhi selera para neo-kapitalis dan kemudian menindas masyarakat sipil. Maka dari itu, ketika neo-kapitalisme dan negara (sebagai bonekanya) berkongkalikong untuk semakin memperkaya dirinya masing-masing, masyarakat sipil mempunyai keharusan untuk melakukan konsolidasi sosial demi melindungi kepentingan ekonominya. Konsekuensinya, pada satu saat, masyarakat sipil musti melakukan perjuangan untuk mendesak kaum pemodal dan atau negara untuk memenuhi hak-haknya; misalnya kesejahteraan hidup, dan pada saat yang bersamaan, masyarakat sipil juga niscaya untuk mengkosnsolidasikan kekuatan ekonomisnya melalui semangat kemandirian, keswadayaan, dan ke-swadhesi-an. Namun demikian, pada saat yang lain, masyarakat sipil juga dimungkinkan untuk bekerja sama dengan salah satu atau kedua kekuatan yang lain, hanya saja tujuannya harus jelas dan tegas, yakni; untuk kesejahteraan dan pemenuhan hak-hak ekonomi masyarakat sipil.

Kedua, selain kecenderungan menguatnya neo-kapitalisme yang membuat negara dan masyarakat tak berdaya secara ekonomi, negara juga mempunyai potensi yang kuat untuk menjadi korup, otoriter, dan memberangus hak-hak politik rakyat. Pendek kata, masyarakat sipil juga perlu untuk melakukan konsolidasi politik untuk makin meningkatkan bargaining position-nya terhadap negara maupun pemodal untuk menjamin bahwa kebebasan, harkat, dan martabatnya dijamin dan dihormati. Sebab, kedaulatan politik rakyat menjadi prasyarat utama bagi sebuah iklim tamaddun yang demokratik dimana fungsi negara adalah pelayan yang baik dan terpercaya bagi pemenuhan hak-hak politik rakyat.

Ketiga, masyarakat sipil juga tak luput dari krisis yang disebabkan oleh keroposnya bangunan budaya yang ada di dalamnya. Akibatnya, mereka mengalami ketumpulan dan kemunduran sense of advanced humanity (rasa kemanusiaan yang adiluhung), seperti ; religiusitas yang makin terkikis, semangat keilmuan yang menurun, gairah intelektualisme yang rendah, tak punya kreatifitas seni, sastra, atau musik yang dapat dibanggakan, tak ada kemajuan teknologi yang dapat dicapai, dan sebagainya. Konsolidasi kebudayaan masyarakat sipil diperlukan untuk mengatasi krisis itu. Dengan konsolidasi, gebrakan budaya untuk kembali menggairahkan energi kreatif masyarakat dapat dilakukan. Tidak hanya itu, cita-cita transformasi masyarakat yang nota bene adalah masyarakat yang diridhai Allah SWT sangat mungkin untuk diwujudkan. Masyarakat itu adalah masyarakat yang ber-tamaddun (civilized socoiety) yang di antara ciri yang disebutkan Ibnu Khaldun (sebagaimana dikutip Beg, M.A.J., 1982) adalah: a higher form of religion, a well-organized state, a system of law, city life, a developed system of writing (script), and distinctive forms of art and architecture (Mustafa Kamal Ayub, 2004).


Kaum Lemah dan Terpinggirkan: Identifikasi Subyek Dedikasi Perjuangan.

Siapa sebenarnya yang bisa diidentifikasi sebagai kaum lemah (dhu`afa’) dan terpinggirkan (mustadh`afien) itu? Yang jelas, kedua kategori kaum ini berada di wilayah masyarakat sipil. Mereka itu adalah elemen masyarakat yang paling seringkali ‘diatasnamakan’, suaranya diperebutkan di saat pemilu, namun hak-haknya seringkali diijak-injak pada saat pembangunan dijalankan. Kaum yang pertama, adalah kaum dhu`afa (kaum lemah). Mereka adalah kaum yang secara ‘natural’ memang tidak mempunyai kuasa baik ekonomi maupun politik untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka yang standar. Untuk itu mereka memerlukan perlindungan, pembelaan, dan juga pemberdayaan. “Gerakan Tamadduni Masyarakat Sipil” mendedikasikan seluruh aktivitasnya untuk membela dan memperjuangkan kepentingan mereka.

Sedangkan yang kedua adalah kaum mustadh`afien (yang dilemahkan, dikalahkan, dan dipinggirkan). Mereka itu adalah kaum yang memang sengaja dibuat tak berdaya oleh struktur baik struktur ekonomi , struktur sosial, maupun struktur politik. Hal ini biasanya disebabkan oleh apa yang disebut Johan Galtung (1971) sebagai kekerasan struktural (structural violence). Kekerasan ini merujuk pada sebuah upaya sistematis (dan struktural) yang membuat pihak lain teraniaya dan tidak berdaya secara politik, ekonomi, budaya, dan bahkan kelangsungan hidupnya terancam (violence as structure). Misalnya, kaum miskin dengan kualitas hidup yang memprihatinkan akibat kebijakan tripple down effect yang hanya membuat kaya segelintir orang. Kaum yang tidak mempunyai daya saing di dunia kerja akibat akses pendidikan mereka dibatasi dengan mahalnya biaya sekolah. Kaum yang tak lagi punya tempat tinggal atau penghasilan yang memadai akibat penggusuran dan kebijakan-kebijakan politik lainnya. Kaum yang keluarganya diculik dan dibunuh secara sistematis oleh aparat negara. Kaum yang secara sistematis dibuat kelaparan oleh sistem dan kebijakan ekonomi yang menguntungkan kaum kaya dan dikorup oleh kaum birokrat. Misi profetik dari “Gerakan Tamadduni” adalah untuk mebebaskan dan mengentaskan kaum lemah dan terpinggirkan ini dari struktur yang menindas mereka.


Strategi Gerakan HMI:

Lalu, bagaimana strategi gerakan HMI untuk menopang visi besar “Gerakan Tamadduni” ini? HMI sebagai salah satu elemen penting dalam masyarakat sipil memiliki beberapa strategi gerakan untuk menyemaikan semangat dan gerakan tamaddun ini, baik di tingkat organisatoris maupun di lingkungan sekitar Himpunan Mahasiswa Islam berada. Pada wilayah dimana HMI berada inilah nilai, kekuatan, dan sumberdaya lokal bersemayam dan sangat potensial untuk membangkitkan gairah tamaddun di lokal masing-masing.

Di samping HMI bisa menjadi pioneer dalam mengkonsolidasikan kekuatan tamaddun yang berbasis sektor kemahasiswaan dan kepemudaan, ia juga harus dapat menjadi garda depan pembangunan tamaddun yang berbasis lokal. Hal ini bisa dicapai dengan cara HMI mau mendistribusikan dan membasiskan kekuatannya ke wilayah-wilayah (lokal) dimana cabang-cabang HMI menjadi ujung tombak pergerakan. Untuk itu, hal-hal yang berkenaan dengan “lokal” perlu diperhatikan. Istilah “lokal” ini merujuk pada wilayah demografis dimana di sana juga terdapat elemen pemodal, pemerintahan, dan masayarakat sipilnya. Cabang HMI yang merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakat sipil di masing-masing wilayahnya diharapkan mampu melakukan beberapa strategi gerakan di bawah ini:

  • Penguatan Visi Lokal.

Penguatan visi lokal berbanding lurus dengan keinginan untuk menemukan kearifan nilai (local wisdom) dan keistimewaan lokal (local uniqueness) untuk menjadi penopang bagi peradaban yang lebih besar (al-mujtama` al-mutamaddin). Di sinilah HMI musti bisa mencari strategi yang paling tepat bagi gerakannya ketika berhubungan dengan pemerintahan lokal (local government). Apakah pola hubungan masyarakat politik-masyarakat sipil dibangun dalam kerangka yang konfliktual (vis a vis) atau dibangun di atas pondasi kemitraan (konsensus), semuanya musti dipertimbangkan secara matang berdasarkan kekuatan lokal masing-masing, tentu tanpa menanggalkan kritisisme dan independensi.

  • Peningkatan Partisipasi Lokal.

Peningkatan partisipasi lokal berarti dua pengertian; pertama, partisipasi kritis, dan kedua, partisipasi kooperatif. Model partisipasi yang pertama dipakai untuk menghadapi pemerintah lokal yang korup, menghamba pada pemodal yang eksploitatif, dan otoriter, sehingga dibutuhkan perlawanan kritis, sistematik, dan bahkan radikal untuk mengubah struktur yang menindas itu. Model partisipasi yang kedua digunakan untuk menghadapi pemerintah lokal yang membutuhkan advokasi politik untuk melawan pemerintah pusat yang otoritarian atau pemodal yang eksploitatif. Lebih dari itu, partisipasi kooperatif (dengan pemerintah lokal demokratik atau pemodal yang humanis) juga bisa diberlakukan untuk agenda-agenda pemberdayaan masyarakat.

  • Pengembangan kapasitas dan kompentensi sumberdaya lokal.

Pengembangan kapasitas dan kompetensi mempunyai pengertian bahwa setiap sumberdaya manusia di tingkat lokal mesti memiliki kapasitas dan kompetensi yang dapat diandalkan melalui pemanfaatan dan pengelolaan yang baik atas semua sumberdaya di lokal tersebut. HMI di tingkat cabang dalam hal ini juga dituntut untuk menggembleng dirinya dengan mental kepemimpinan, kompetensi di suatu bidang, dan pengetahuan luas untuk menjadi insan mutamaddin (manusia berperadaban yang arif dan tegas dalam membuat keputusan karena menguasai banyak bidang). Dalam konteks inilah tema “Cabang Berbasis Keilmuan” menemukan relevansinya. Dengan demikian HMI dapat menjadi pioner dalam pembangunan tamaddun di tingkat lokal dengan keunggulan kapasitas dan kompetensinya.

Mar'atus Shalihah









Wanita Sholihah
Artist: Tazakka




Wanita Sholihah



Perhiasan yang paling indah bagi seorang abdi Allah
itulah ia wanita sholihah
ia menghiasi dunia

Perhiasan yang paling indah bagi seorang abdi Allah
itulah ia wanita sholihah
ia menghiasi dunia
itulah ia wanita sholihah
ia menghiasi dunia

(*) Aurat ditutup demi kehormatan
Kitab Al Qur'an didaulahkan
suami mereka diataatinya
walau perjuangan dirumah saja
karena IMAN dan juga ISLAM
telah menjadi keyakinan
jiwa raga mampu dikorbankan
harta kemewahan dilaburkan

didalam kehidupan ini
ia menampakan KEMULIAAN
bagai sekuntum mawar yang tegar
ditengah gelombang kehidupan...