Rabu, 06 Februari 2008

Re_"Kon"_Siliasi



Islam Fungsional, Rekonsiliasi dan ‘Bubarkan MPO’
Oleh :TRISNO SUHITO

Kata-katanya tandas. Ia masih dan tetap bersemangat ketika berbicara HMI. Baginya, HMI adalah spirit perjuangan menegakan Islam. Komunitas ini mesti menjadi gerakan dimana lembaga, kader dan alumninya harus menegakan Islam yang fungsional.

Namun, ia juga menjadi sosok kontroversial di HMI. Dirinya dianggap banyak kalangan ingin memborong sejarah masa lalu. Seakan HMI (MPO) adalah milik dan sejarahnya sendiri. Ia merasa dirinya yang paling bertanggung jawab akan kehadiran HMI (MPO). “MPO harus membubarkan diri karena misinya sudah selesai," tegasnya.

Rekonsiliasi dua HMI menjadi wacana yang coba (terus) ia suarakan. Ia merasa ada beban sejarah yang harus dipikul. “Saya tidak enak dianggap memecah belah HMI. Semestinya HMI kini bersatu lagi. Karena HMI DIPO juga sudah berasas Islam”.

Pada HMINEWS, Egi Sujana, Ketua PB HMI (MPO) pertama, memberikan pandangan, harapan sekaligus pendapat dan kritiknya tentang HMI di usianya yang ke-61. Berikut petikan wawancara HMINEWS dengan politisi PPP ini di sela-sela acara Munas Islah VIII KAHMI, (2/2), di Hotel Borobudur, Jakarta.

Bagaimana memaknai HMI yang kini usianya menginjak 61 tahun?

Kesadaran ber HMI itu adalah konsekuensi bagi aktivis atau mahasiswa muslim. Ulang tahun itu proses untuk mengingatkan jati diri HMI yang sesungguhnya. Apakah dari 1947 sampai sekarang, jati diri HMI masih seperti yang dulu. Masih konsisten atau tidak. Evaluasi saya, sekarang ini tidak menggembirakan.

Apa parameter tidak menggembirakan itu?

Tujuan HMI kalau disederhanakan itu adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Mewujudkan masyarakat yang diridhoi Allah SWT. Mana hasilnya dari 1947-2008, negeri ini tidak seperti tujuan yang diharapkan. Dimana peran HMI? Munculnya berbagai aliran sesat misalnya adalah kegagalan dakwah Islam, termasuk HMI di dalamnya. Sudah 61 tahun HMI berdiri, tapi tujuan HMI jauh dari harapan.

Apa tantangan HMI setelah era keruntuhan Seoharto?

Adalah keliru jika kita mempersonifikasikan Soeharto sebagai common enemy. Islam itu rahmatan lil’alamiin. Jadi lebih bagaimana kita menegakan tata nilai. Jadi, ada tidaknya Soeharto yang harus ditegakan itu nilai. Seperti keadilan, kebenaran, kejujuran, persamaan hak, kesetaraan, pembelaan kaum lemah, dan sebagainya. Sehingga, itu yang tetap jadi orientasi HMI. Termasuk bagaimana mewujudkan dalam konteks dunia internasional, bukan hanya Indonesia. Misalnya, ada 106 negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI). Dimana pengaruh kita? Dulu ada IPSO dan WAMI. Di dua organisasi ini HMI sekarang sudah tidak lagi diakui perannya. Kalau ini dipahami benar, dan dengan kerja intelektual, maka HMI akan menjadi agen perubahan besar.

Dalam konteks ke-Indonesiaan, perubahan apa yang mestinya dilakukan?

Dalam masyarakat sebenarnya ada tiga kekuatan utama perubahan, yakni buruh, mahasiswa dan militer. Harusnya HMI bisa mensinergikan ketiga kekuatan itu. Dikolaborasikan, tepatnya. Nah, dari ketiga elemen tersebut mahasiswa dan HMI didalamnya sebenarnya paling ‘cerdas’. Bukan masalah mahasiswa lebih pandai dari buruh dan militer. Tapi, di mahasiswa ada doktrin pencerahan yang berisi ilmu, idealisme dan jaringan sebagai keunggulan dia. Sementara, buruh dan militer itu adalah mesin yang sulit diharapkan sisi pencerahannya. Militer itu mesin negara, sementara buruh adalah mesin produksi. Tapi, kita tidak bisa menafikan ketiga kekuatan yang ada. Bagaimana HMI mengkonsolidasi 3 kekuatan ini agar perubahan bisa terjadi.

Bagaimana HMI menempatkan diri dalam perubahan?

HMI harus menciptakan gerakan strukturalisasi. Artinya struktur kekuasaan terkecil apapun harus dikuasai. Islam itu harus fungsional dengan otoritas dan kapasitas. Dan, semuanya harus dibarengkan dengan amanah. Niscaya Islam akan tegak. Di Indonesia ini, presiden, menteri dan DPR-nya orang Islam, tapi tidak fungsional. Di negeri ini ada 12 menteri dari HMI, banyak anggota DPR dari HMI, bahkan wakil presiden juga dari HMI, mestinya hukum Islam tegak. Padahal mereka yang membuat hukum, aturan dan undang-undang dan melaksanakannya. Mereka itu Islam, tapi hanya Presiden.Mereka Islam, tapi hanya DPR. Islamnya dinafikan. HMI harus bisa mewujudkan bagaimana Islam bisa fungsional. Dan, ini tidak dilepaskan dari kekuasaan di dalamnya.

Apakah itu tidak menjebak HMI larut mengagungkan kekuasaan?

Kekuasaan itu hanyalah alat, bukan tujuan. Ia alat untuk mencapai tujuan nilai-nilai yang seperti saya sebutkan tadi. Keadilan, kebenaran, kedamaian, kesejahteraan, kesetaraan dan lainnya. Untuk menegakan itu, kekuasaan adalah alat yang efektif dan juga wajib didapatkan. Kita perlu merujuk Al Qur’an, yang lebih banyak ‘ayat-ayat publiknya’ daripada ‘ayat-ayat privatnya’. Perubahan tidak bisa diselesaikan dengan 100 ulama yang nangis-nangis bersama umatnya.

Apa bentuk lain dari Islam Fungsional?

Jangan mudah berpecah belah. Kalau umat Islam berpecah belah itu jadi tidak fungsional. Realitasnya, kita terjebak perpecahan. Mengintip bulan saja kita berpecah belah dan salah menentukan bulan Ramadhan. Padahal negara lain sudah sampai bulan. KAHMI pecah itu tidak fungsional. HMI pecah juga tidak fungsional. Padahal Allah memerintahkan agar umat Islam jangan berpecah belah. Maka, semestinya HMI kini juga harus menyatu kembali. Jangan dua seperti sekarang, ada MPO dan DIPO.

Saya menyatakan ini, karena saya pelaku sejarah. Dulu Pancasila seakan dipertentangkan dengan Islam. Itu pintarnya intelejen dan gobloknya kita umat Islam. Padahal tidak ada yang dipertentangkan. Semua bunyi Pancasila, sesuai dengan Islam. HMI MPO hadir untuk menyelamatkan Islam, dari killing ground atas nama Pancasila oleh Orde Baru. Lha sekarang HMI DIPO khan sudah berasas Islam kembali. Mestinya MPO membubarkan diri karena itu sudah tidak diperlukan lagi. Dan, keduanya melakukan rekonsiliasi agar HMI tidak terpecah belah. MPO dulu ada karena taktis strategis untuk menyelamatkan asas Islam dari pemaksaan Pancasila oleh Orde Baru.

Apakah Bang Egi ingin menyederhanakan masa kini dengan masa lalu?

Saya ini pelaku sejarah sekali lagi. Saya punya beban sejarah dan tidak enak dianggap memecah belah HMI. Seolah saya yang membuat perpecahan HMI di masa lalu. Sekarang ini sudah tidak ada masalah lagi sebenarnya dengan persoalan asas. Keduanya sudah sama. Maka, menjadi kewajiban bagi saya untuk mempersatukan kembali lagi. Kalau KAHMI pecah itu khan karena soal kepentingan dan kekuasaan. NU dan Muhammadiyah memang sedari awal sudah beda. Jadi, jangan dipersoalkan lagi. Kalau HMI beda, soal asas. Sekarang ini sudah sama kembali asasnya antara MPO dan DIPO. Kita harus berorientasi agar Allah ridho. Bagaimana Allah ridho, jika kita berpecah belah. Kita tidak taat pada perintah dia. Maka, buatlah sejarah seperti HMI dulu menolak pemaksaan asas tunggal. Caranya sekarang dengan menyatukan kembali dua HMI. Itu akan diridhoi Allah.

Perbedaan yang ada dengan MPO dan DIPO sekarang itu bukan rakhmat, tapi laknat dan tidak fungsional. Dari dulu sudah saya terangin kepada teman-teman. Tapi, tidak mau ngerti. Itu namanya fasiq. Sekarang apa indikator kiprah HMI MPO? Kongres saja kemarin di Jakarta, kalian tidak diliput media. Tidak punya pengaruh sama sekali di pentas nasional. Menurut saya ada dua pilihan dalam soal ini. Pertama rekonsiliasi. Caranya dengan dialog terus menerus. Selanjutnya, proses kultural dengan training bersama, demo bersama, atau kegiatan-kegiatan bersama. Dan, terakhir, setelah melewati tahap itu semua, melalui cara struktural, melaksanakan kongres bersama. Pilihan kedua, kalau tidak mau rekonsiliasi, kalian jangan memakai nama HMI. Karena misi MPO sudah selesai. Jadi tidak diperlukan lagi. Dari dulu kalian tidak nurut-nurut, padahal saya sudah bilang. Kalau HMI bisa bersatu kembali, ini akan sangat memukul kakak-kakak kalian di KAHMI yang juga pecah jadi dua.

Posting dari hminews.com

1 komentar:

ank mengatakan...

Kanda, punya mp3 Mars Jihad kah? Ato lirik lengkapnya versi arab. Setahuku itu nasyid jaman shahabat Rasulullah ya?